Senin, 01 Agustus 2022

Aku menjadi “ibu”

Tidak lama setelah aku menikah, aku menonton video yang lewat di instagram, tentang seorang perempuan yang baru saja memiliki 1 anak dalam keluarganya. Kalimat yang ku garis bawahi adalah “seseorang tidak akan benar benar mengerti seorang ibu sebelum ia menjadi seorang ibu”. that’s true. And now, here’s my story. 

Malam itu di meja operasi aku dengan setengah sadar mendengar sayup tangis seorang bayi. 20 maret 2021 pukul 23.05 aku secara resmi menjadi seorang ibu. Dokter didekatku bilang “anaknya laki laki ya bu”. Aku menangis, dengan masih menggigil karena kedinginan, dalam otakku hanya ada pertanyaan “gimana wajah anakku? Sehatkah dia? Dinginkah?”

Keluar dari ruang pemulihan aku disambut suami, orang tua dan mertua. Wajah mereka yang mengantuk, lelah dan khawatir. Aah aku sangat merasa disayang. Tidak lama di ruang rawatku orang tua dan mertua pamit untuk istirahat. Lalu suamiku berkata “ayaang allhamdulilah ini anak kita, tadi setelah lahir dia tidak langsung nangis, mas adzan di telinganya dia hanya merintih, mas diminta keluar ruangan dulu… mas khawatir banget… pas mas ga lama diluar baru perawat panggil lagi buat kabarin akhirnya anak kita nangis, karena anak kita terlilit di lehernya mungkin itu penuebabnya” mata suamiku yang merah lelah itu tambah memerah menahan isak masih memegang hp yang layarnya foto anak kami, anak ganteng yang kuat. Begitupun aku. Dalam 1 malam setelah ku dinobatkan sebagai ibu, aku diberi anugerah rasa khawatir yg sangat besar, tentang menjadi seorang ibu. Ya Allah beginikah rasanya menjadi ibu? Tidak peduli dingin yg masih menusuk, darah yang masih keluar deras dan jahitan yang perih luar biasa…aku hanya memikirkan kondisi anakku.

Sampai malam ke 2 aku belum bisa bertemu anakku karena ia masih dalam pantauan dokter, selama itu juga aku masih menikmati perih yang luar biasa di bekas jahitan caesar ku bahkan aku hanya menarik nafas. Saat itu asi ku belum juga keluar, sedih? Tentu. Rindu? Juga. 9 bulan kemarin aku selalu merasa gerakan dan tendangan anakku di perut. Kini perutku kosong, anakku belum dapat kudekap. 

Hari ketiga, dengan sakit yg berangsur berkurang aku pulang dengan anakku ikut juga. Bahagia. Malam malam pertama sebagai ibu itu rasanya… lelah dan senang berbaur menjadi satu. Kurang tidur bahkan susah mencari waktu makan sangat kami rasakan sebagai ayah bunda baru. Setiap kali anak kami menangis, aku susui dan tetap nangis adalah saat saat terberat. Sakitkah ia? Hanya itu dipikiran kami… hari ke 4 anakku dirumah, Allah memberi kejutan untuk kami untuk rehat sejenak, anakku harus dirawat karena bilirubinnya tinggi. Sayangnya ia harus dirawat sendiri, aku hanya boleh menitip asi perah lewat perawat saja selama ia dirawat. Mendengar itu aku mencium wajah anakku berulang kali sebelum kami berpisah sementara. Dirumah, sembari pompa asi ku ciumi bantal dengan aroma khas anakku… lagi lagi menangis, rindu sekali bunda nak… nyenyakkah bobo di rumah sakit tanpa bunda nak? Bunda susah tidur… bunda kangen. Hanya itu dipikiranku. 

Hari ke 4 akhirnya anakku boleh pulang. Pertama kali bertemu kembali dengan anakku, rasa bahagianya tidak terkira. Kuciumi anakku, ku peluk erat. Kubisikkan di depan wajahnya “bunda ga akan pernah ninggalin kaka ya, makasih ya nak sudah berjuang untuk bisa cepet pulang” 

Aku sadar, tidak akan pernah bisa aku belajar menjadi lebih sabar dan lembut hatiku bila tidak menjadi seorang ibu.

Nak sungguh, ternyata bukan kamu yg belajar menjadi manusia… tapi aku yg belajar menjadi seorang ibu.

Menjadi yang pertama kau lihat setiap pagi, yang selalu kamu intili dimanapun adalah hal terbahagia walau kadang aku bete bila susah mandi dan makan dengan tenang.

Setelah menjadi ibu, aku baru sadar ternyata mencium bau asem bajuku adalah hal yang menenangkan bagi seorang anak. Ia bisa bebas mengelap ingusnya, mendusel dan menariknya dengan bahagia.

Ceritaku belum selesai, nanti kita ketemu lagi ya!