Pernahkah kalian melewati masa “hanya mampu menerima?”
Bila pernah, selamat mungkin kita sudah mampu naik kelas.
Menjadi dewasa itu menakutkan, ya?
Lagi lagi ujian tanda Allah sayang padamu itu, mampu membuatmu tetap berlari.
Walau kadang raga terasa tak sanggup lagi
Hampir tertatih namun sisa tenaga menegakkan tubuhmu (lagi)
Juga kalimat “semua indah pada waktunya”
Jadi lebih terasa lama tergapai karena ternyata ujian itu masih mengantri didepan mata
Hari ini aku mau sedikit cerita, tentang suamiku yang hatinya luas dan damai walau Allah mengujinya bertubi tubi
1 bulan setelah kami merantau, dalam dekapan rindu yang terus membuai, suamiku harus merelakan kepergian ayahnya…
Sepanjang malam bapak ada di icu, sepanjang malam itupun tangan suamiku tetap menengadah duduk bersimpuh diatas sejadah.
Saat kabar itu datang, suamiku tak lantas merengek tak terima, isakkannya kecil dan tak bertahan lama.
Dalam perjalanan menuju kampung halaman yang tidak sebentar, suamiku mampu tegar tetap tersenyum sembari memangku anak kita
Sesampainya di pusara ayahanda, ia dengan khusyuk berdoa… menundukkan kepala, tanpa isak…
Selesai itu, ia berdiri dan berjalan menjauhi makam bapak.
Saat itulah, 3 langkah dari makamnya ia lalu menangis, isakannya dalam… air mata tak berhenti menetes… hingga kami sampai dirumah sanak saudara untuk menjemput ibu.
Sebelum bersalam dengan ibu, suamiku bercermin, ia cuci muka dan kembali ke depan pintu… menyapa ibu tanpa ada air sedih sedikitpun di wajahnya…
Ya Allah…
Melihat semua kenangan antara suamiku dengan bapak, bilalah aku ada lah suamiku, pastinya sudah bengkak dan terpuruk hatiku saat itu.
Maka ini yang kumaksud,
Tentang hati yang paling menerima.
40 hari setelah kepergian bapak kami
Palembang, 9 desember 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar