Senin, 19 Desember 2022

Hati (yang paling) Menerima

Pernahkah kalian melewati masa “hanya mampu menerima?”

Bila pernah, selamat mungkin kita sudah mampu naik kelas.

Menjadi dewasa itu menakutkan, ya?

Lagi lagi ujian tanda Allah sayang padamu itu, mampu membuatmu tetap berlari.

Walau kadang raga terasa tak sanggup lagi

Hampir tertatih namun sisa tenaga menegakkan tubuhmu (lagi)


Juga kalimat “semua indah pada waktunya”

Jadi lebih terasa lama tergapai karena ternyata ujian itu masih mengantri didepan mata


Hari ini aku mau sedikit cerita, tentang suamiku yang hatinya luas dan damai walau Allah mengujinya bertubi tubi


1 bulan setelah kami merantau, dalam dekapan rindu yang terus membuai, suamiku harus merelakan kepergian ayahnya…

Sepanjang malam bapak ada di icu, sepanjang malam itupun tangan suamiku tetap menengadah duduk bersimpuh diatas sejadah.


Saat kabar itu datang, suamiku tak lantas merengek tak terima, isakkannya kecil dan tak bertahan lama.

Dalam perjalanan menuju kampung halaman yang tidak sebentar, suamiku mampu tegar tetap tersenyum sembari memangku anak kita

Sesampainya di pusara ayahanda, ia dengan khusyuk berdoa… menundukkan kepala, tanpa isak…

Selesai itu, ia berdiri dan berjalan menjauhi makam bapak.

Saat itulah, 3 langkah dari makamnya ia lalu menangis, isakannya dalam… air mata tak berhenti menetes… hingga kami sampai dirumah sanak saudara untuk menjemput ibu.

Sebelum bersalam dengan ibu, suamiku bercermin, ia cuci muka dan kembali ke depan pintu… menyapa ibu tanpa ada air sedih sedikitpun di wajahnya… 

Ya Allah… 

Melihat semua kenangan antara suamiku dengan bapak, bilalah aku ada lah suamiku, pastinya sudah bengkak dan terpuruk hatiku saat itu.


Maka ini yang kumaksud, 

Tentang hati yang paling menerima.


40 hari setelah kepergian bapak kami

Palembang, 9 desember 2022 

Senin, 01 Agustus 2022

Aku menjadi “ibu”

Tidak lama setelah aku menikah, aku menonton video yang lewat di instagram, tentang seorang perempuan yang baru saja memiliki 1 anak dalam keluarganya. Kalimat yang ku garis bawahi adalah “seseorang tidak akan benar benar mengerti seorang ibu sebelum ia menjadi seorang ibu”. that’s true. And now, here’s my story. 

Malam itu di meja operasi aku dengan setengah sadar mendengar sayup tangis seorang bayi. 20 maret 2021 pukul 23.05 aku secara resmi menjadi seorang ibu. Dokter didekatku bilang “anaknya laki laki ya bu”. Aku menangis, dengan masih menggigil karena kedinginan, dalam otakku hanya ada pertanyaan “gimana wajah anakku? Sehatkah dia? Dinginkah?”

Keluar dari ruang pemulihan aku disambut suami, orang tua dan mertua. Wajah mereka yang mengantuk, lelah dan khawatir. Aah aku sangat merasa disayang. Tidak lama di ruang rawatku orang tua dan mertua pamit untuk istirahat. Lalu suamiku berkata “ayaang allhamdulilah ini anak kita, tadi setelah lahir dia tidak langsung nangis, mas adzan di telinganya dia hanya merintih, mas diminta keluar ruangan dulu… mas khawatir banget… pas mas ga lama diluar baru perawat panggil lagi buat kabarin akhirnya anak kita nangis, karena anak kita terlilit di lehernya mungkin itu penuebabnya” mata suamiku yang merah lelah itu tambah memerah menahan isak masih memegang hp yang layarnya foto anak kami, anak ganteng yang kuat. Begitupun aku. Dalam 1 malam setelah ku dinobatkan sebagai ibu, aku diberi anugerah rasa khawatir yg sangat besar, tentang menjadi seorang ibu. Ya Allah beginikah rasanya menjadi ibu? Tidak peduli dingin yg masih menusuk, darah yang masih keluar deras dan jahitan yang perih luar biasa…aku hanya memikirkan kondisi anakku.

Sampai malam ke 2 aku belum bisa bertemu anakku karena ia masih dalam pantauan dokter, selama itu juga aku masih menikmati perih yang luar biasa di bekas jahitan caesar ku bahkan aku hanya menarik nafas. Saat itu asi ku belum juga keluar, sedih? Tentu. Rindu? Juga. 9 bulan kemarin aku selalu merasa gerakan dan tendangan anakku di perut. Kini perutku kosong, anakku belum dapat kudekap. 

Hari ketiga, dengan sakit yg berangsur berkurang aku pulang dengan anakku ikut juga. Bahagia. Malam malam pertama sebagai ibu itu rasanya… lelah dan senang berbaur menjadi satu. Kurang tidur bahkan susah mencari waktu makan sangat kami rasakan sebagai ayah bunda baru. Setiap kali anak kami menangis, aku susui dan tetap nangis adalah saat saat terberat. Sakitkah ia? Hanya itu dipikiran kami… hari ke 4 anakku dirumah, Allah memberi kejutan untuk kami untuk rehat sejenak, anakku harus dirawat karena bilirubinnya tinggi. Sayangnya ia harus dirawat sendiri, aku hanya boleh menitip asi perah lewat perawat saja selama ia dirawat. Mendengar itu aku mencium wajah anakku berulang kali sebelum kami berpisah sementara. Dirumah, sembari pompa asi ku ciumi bantal dengan aroma khas anakku… lagi lagi menangis, rindu sekali bunda nak… nyenyakkah bobo di rumah sakit tanpa bunda nak? Bunda susah tidur… bunda kangen. Hanya itu dipikiranku. 

Hari ke 4 akhirnya anakku boleh pulang. Pertama kali bertemu kembali dengan anakku, rasa bahagianya tidak terkira. Kuciumi anakku, ku peluk erat. Kubisikkan di depan wajahnya “bunda ga akan pernah ninggalin kaka ya, makasih ya nak sudah berjuang untuk bisa cepet pulang” 

Aku sadar, tidak akan pernah bisa aku belajar menjadi lebih sabar dan lembut hatiku bila tidak menjadi seorang ibu.

Nak sungguh, ternyata bukan kamu yg belajar menjadi manusia… tapi aku yg belajar menjadi seorang ibu.

Menjadi yang pertama kau lihat setiap pagi, yang selalu kamu intili dimanapun adalah hal terbahagia walau kadang aku bete bila susah mandi dan makan dengan tenang.

Setelah menjadi ibu, aku baru sadar ternyata mencium bau asem bajuku adalah hal yang menenangkan bagi seorang anak. Ia bisa bebas mengelap ingusnya, mendusel dan menariknya dengan bahagia.

Ceritaku belum selesai, nanti kita ketemu lagi ya!

Selasa, 07 Juni 2022

Maaf

 Sedang dalam fase

Mengapa sulit untuk berhenti berpikir…

Bagaimana bila aku tidak memilih ini agar bisa kembali kebeberapa tahun yg lalu?

Dan aku akan belajar tidak menggantung kebahagiaanku pada paku rapuh yang tersangkut pada orang lain…

Menunggu jatuh tanpa ada yg menangkapku,

Dibawah

Cibiru, 7 Juni 2022

Senin, 28 Maret 2022

Mendung itu sama

Mendung di luar mengingatkanku tentang rasa kehilangan 3 tahun silam. Oh mengapa rasanya sama? Mendung hatiku serupa. 

Kukira setelah aku lebih dulu berpamitan takkan ada lagi rasa seperti ini. Banyak kasih sayang yang ternyata masih membekas dalam hati tertolak raga. Tak mengapa, aku betul betul dapat mengatasi retak hati yang terasa. Semoga, doakan aku ya…


Bandung, 28 Maret 2022

Rabu, 09 Maret 2022

Pesan menjelang 1 tahun anakku

Banyak yang ingin ku contohkan pada anakku

Mengenai makna, tentang

Memaafkan lisan yang meggores hati

Mengerti sikap yang iapun belum sadar salahnya

Menentang dendam yang memberatkan kerja hati

Lalu juga akan kutegaskan, bahwasanya

Nak, bila hatimu itu terlihat bentuknya 

Tentu ia sudah tercabik lalu kembali utuh setiap hari

Bijaklah mengatasi ego, karena sesungguhnya

Semakin baik akhlakmu, semakin baik pula hati dan lisanmu

Karena hati dan lisan ibarat cangkir dan isinya

Apa yang tumpah sesuai dengan isi hatinya


Bandung, 9 maret 2022

Selasa, 01 Maret 2022

Ber - sangka - pra sangka

 Lucu sekali siang ini

Ada opini yang terus bertumbuh

Ada ego yang memaksa keluar

Ada rindu yang menggelitik sejiwa

Kalau saja lembaran buku dalam hatimu,

Dapat terbaca sekejap mata telanjang

Tentu tak akan terbangun prasagka antar makhlukNya

Hati tercipta di dalam, jauh sampai tidak tau dimana

Letaknya tak nampak, tapi terasa jelas sakitnya

Bilamana ada yang perlu ku koreksi

Ialah isi pikiranku sendiri

Dengan mengkodinir setiap makna

Dengan mengatur prasangka di di dada


Bandung, 2 maret 2022

Senin, 28 Februari 2022

Para suami yang hatinya jarang terdengar

 Dia yang tangannya belang itu,

Sebetulnya sedang menghadapi alur kejam dunia

Ia yang rambutnya mulai apek, tercampur debu itu,

Sebetulnya merasa penat lelah 5, 10 hari kedepan

Ia yang senyum tulusnya masih terpampang setiba dirumah,

Sebetulnya menahan riuh dera emosi di dadanya

Lalu mengapa ia begitu nampak kuat setiap saat?

Bagaimana tidak? Jari mungil dan tangan lentik bau bumbu yang menggenggam erat bahunya itu selalu menahan dan menopangnya setiba dirumah

Lalu, seraya memandang matanya, si tangan berbau bumbu itu berkata

Setiap kali melihatnya terpejam tenang disampingku, ingin rasanya beban yang menghimpit pikirannya itu kami bagi berdua

Lalu ia menolak, katanya 

Bagaimana mungkin aku membiarkan tangan dan pikiran istriku menjadi sekasar milikku

Kemudian pemilik tangan berbau bumbu itu menjawab

Baiklah tak apa sayang… selalu ada pelangi bahkan setelah hujan badai petir seburuk apapun, kami akan selalu menemanimu

Sejurus kemudian mereka menikmati perjalanannya, dengan bebatuan didepan jalan atau angin ribut diatasnya.

Bandung, 1 maret 2022

Kamis, 10 Februari 2022

Terlambat menyadari

Hari berganti hari, lalu bulan, kemudian tahun. Ternyata aku baru sadar bahwa aku mencintaimu dalam diam. 

Tahukah kalian? Terlalu sering bersama akan menyamarkan sebenar benarnya perasaan yang ada? Kemudian, tetiba aku mencintai orang yang lain. Orang itu sangat bersahabat denganmu. Namun aku ternyata sadar, kamu tidak begitu antusias. Apa aku yang tak mengenalmu dengan sempurna? Atau aku yang terlalu sibuk dengan orang baru tersebut. 

Kemudian saat kebahagiaanku sempurna, aku baru menyadari. Aku pernah mencintaimu. Mungkin  dulu aku terlalu mengelak atau aku terlalu sibuk mengacuhkan perasaanku. Tapi tak apa. Aku tak pernah menyesali rasa yang pernah ada, juga tak pernah menyesal terlambat menyadari. Karena aku yakin semua yang Allah berikan saat ini, ialah si terbaik dari semua yang paling baik. 

Terimakasih, atas mendadak rindu ini. Aku sudah cukup, dengan menerima perihal "terlambat menyadari"

RS Limijati, 11/2/2022