Beberapa manusia diciptakan untuk melangkapi manusia lain
Sebut saja mereka samudra dan awan.
Biar kudeskripsikan, samudra tidak dapat di eja, ia selalu berubah-se keinginan nya.
Takut dan menakutkan. Begitu penilaian sekitar. Baginya, semua makhluk adalah sumber salah kecuali dirinya. Terburu-buru, deburnya selalu keras. Di kegelapan. Tapi ia juga lemah, melemahkan dirinya dengan pemikirannya sendiri.
Awan. Luas, tak terbatas. Ia tenang dan lembut, serupa permen kapas atau isi bantal bayi. Baginya, tak perlu ia bahagia bila sekitar tersenyum karenanya. Tapi dalam awan selalu ada petir, ia perlu pemaksa untuk memuntahkannya lagi dan lagi.
Bagaimanapun terpisah, semesta selalu memiliki jalan mempertemukan. Samudra dan awan, dalam situasi tertentu ada dalam jalur yang sama. Dalam bahasa berjudul cinta. Kupikir begitu.
Pada suatu hari, dalam kejenuhan yang sangat besar, samudra melihat awan sedang merenung. Matanya begitu... Teduh, meneduhkan. Lalu samudra memalingkan mata, ia tidak percaya tentang apapun mengenai awan, cinta pandangan pertama atau mempersiapkan pernikahan. Beberapa detik setelah lirikannya berganti objek, awan menghampiri samudra "hai apa kabar?" ringan sekali rasanya awan menyapa. Disantapnya sapaan itu. Obrolan ringan diakhiri senyum kikuk tanda kehabisan topik pembicaraan.
Selang beberapa waktu, awan dan samudra, entah bagaimana caranya dan bagaimana ujungnya semakin dekat. Dalam pemikiran samudra, ia hanya harus menunggu waktu perpisahan terjadi. Samudra terlalu naif untuk mengakui pengharapannya. Di waktu yang sama, awan masih terus mengenal samudra, baginya apa yang ia suka perlu ia lakukan, dalam kelembutannya, samudra bercerita mengenai masa lalunya. Begitupun awan, mengenai pertimbangan, keraguan dan tujuan yang ingin ia capai.
Keduanya masih melarutkan diri dalam cumbuan alur cerita semesta. Sampai waktu yang belum dapat kutentukan.
Bandung, 17 Mei 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar