Ada suatu kisah, mengenai penantian panjang dan pada hamparan tanah, berkelok.
Beberapa bulan sebelum wisuda, seorang wanita yg saja dapat kusebut rindang, mencoba peruntungannya untuk bekerja. Aku mengenal rindang, seperti diri ku sendiri. Ia selalu tidak begitu peduli dgn dirinya sendiri, menurutnya, dengan dirinya semua orang perlu bahagia. Termasuk juga masuk kedalam jurusan kuliah yg kini mengantarkan ia bekerja.
Rindang bekerja dibidang sosial, perlu hati dalam setiap hal yang ia lakukan. Namun itu bukan beban. Rindang sudah menikmatinya. Keluarganya, sempurna. Kini, karena Rindang lahir ditengah pendewasaan hubungan kedua orang tuanya sebagai pasutri. Lalu masalah percintaan, ia tidak begitu mujur, maksudku ia belum begitu beruntung lebih tepatnya Rindang tidak begitu peduli, namun sebetulnya ia pemendam cinta. 1 2 3 4 tahun ia memendam begitu saja perasaannya.
-9 tahun sebelumnya-
Dalam krisis kebahagiaan Rindang terus merasakan akibat pendewasaan orangtuanya dalam menikah. Rindang tumbuh menjadi anak yang tomboy, ia galak dan tidak memiliki banyak teman. Suatu hari didepan rumahnya ia melihat sepatu mirip milik ayahnya didepan pintu, 2 pasang. Ketika masuk seorang lelaki tinggi, berkawat gigi tersenyum pdanya. Matanya ramah sekali. Rindang begitu terpesona pada lelaki itu. Lelaki itu meminta orang tua Rindang menjadi walinya karena lelaki itu bersekolah di SMA asrama. Akan kunamakan lelaki itu, matahari. Karena lelaki itu selalu bersemangat dan mampu sedikit memberi cahaya pada (sesungguhnya) hati Rindang yang kala itu sering bersedih melihat orang tuanya. Minggu ketemu minggu matahari sering ke rumah Rindang, mengajak Rindang ngobrol dan bahkan membelikan makanan. Rindang akhirnya terus menunggu hari minggu. Pada satu ketika, matahari jarang lagi datang kerumah Rindang. Kembali, Rindang kesepian. Ia mencoba mengalihkan perhatiannya.
2 bulan bekerja, ia kelelahan, tempat kerjanya dan rumah berjarak 2 jam. Naik kereta dan naik motor telah dicobanya, Rindang tumbang dan menyerah.
-4 tahun sebelumnya-
Rindang, sangat sayang dengan neneknya, ia sayang sekali dengan eyang. Takdir Allah SWT menggariskan eyang terkena penyakit, perlu perawatan intensif, sampai eyang menjadi pikun. Pada kegalauan lebaran itu, seorang wanita dan lelaki datang kerumah eyang, yang baru Rindang lihat, ternyata itu adik eyang. Rindang harus memanggilnya kakek dan nenek, walaupun usianya tidak jauh dari mama dan ayah. Ternyata kakek dan nenek juga memiliki anak seumur Rindang yang sekolah di kota Rindang tinggal, anak itu ku beri nama Hujan. Rindang familiar dengan nama sekolah Hujan, sahabat Rndang pun ada disana. Alih alih penasaran, Rindang bertanya pada temannya. Hujan ternyata anak yang pintar, sekilas dari fotonya. Ia lumayan. Cukup tinggi dan berkacamata. Hanya sekilas, Rindang cuma ingin tau anak dari kakek dan nenek yg sangat baikk sekali itu.
Seperti takdir sebelumnya, Rindang bertemu dengan hujan. Kakek dan nenek memang meminta ortu Rindang untuk buka puasa bersama. Saat itu Rindang yg memang mandiri ia selalu bawa motor kemana mana.
“Hujan ke sekolah naik motor?” Tanya mama rindang
“Engga kak motor bikin macet” jawab hujan
“Mobil kali yg nyempitin jalan” ujar Rindang.
Dimulai obrolan panas, cukup untuk Rindang menilai hujan. Hujan terlahir kaya, ia difasilitasi banyak hal berbeda dengan Rindang. Perlu sabar menunggu dan keeja keras untuk dapat yg Rindang inginkan.
Lalu pesenan makanan Rindang datang. Ia makan iga bakar dengan nasi, sedangkan hujan memesan daging dgn kentang. Menu yg berbeda. RIndang terlalu ketergantungan dgn nasi. Pada saat pesanan rindang datang, hot plate nya sulit untuk diletakan, lalu hujan membantu menyingkirkan benda yg ada didepan rindang. Rindang diam. Saling berpandangan dgn hujan, ia mengerti, komunikasi kadang tidak begitu mencerminkan kepribadian seseorang.
Hanya 1 kali bertemu, Rindang anehnya tidak mampu melupakan tatap mata hujan. Sejuk sekali, juga harum serupa debu disapu hujan di siang hari. Ya juga layaknya hujan, hanya datang pada musim tertentu. Setahun kemudian Rindang kembali bertemu dengan hujan, kala itu mereka sedang sibuk mendaftarkan diri kuliah. Rindang masuk ke jurusan pemerhati orang tua dan anak berkebutuhan khusus. Sedangkan hujan, ia masuk fakultas kedokteran. Rindang takjub. Lelaki itu sangat bekerja keras untuk apa yang ia inginkan.
Terlebih, ia lebih mengerti perasaannya. Ia menyukai hujan, seperti sebelumnya ia menyukai matahari. Keduanya memiliki sifat yang berbeda. Namun mampu mengisi hati Rindang dengan rapi
Tempat kerja berikutnya kemudian mengantarkan Rindang di kedamaian bekerja, ia punya sahabat ia punya keluarga baru. Waktu kian berlalu, Rindang kemudian menikmati hasil usahanya dalam bekerja, ia mampu membeli apa yang ia inginkan.